Fikih Pengurusan Jenazah (1) : Memandikan dan Mengkafani
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, berikut ini kami sajikan uraian mengenai fikih tajhiz al janazah (pengurusan jenazah) secara ringkas beserta dalil-dalil dan keterangan dari para ulama. Pada bagian pertama ini, kami akan coba membahas cara memandikan jenazah dan mengkafani.
Ketika Baru Meninggal
Dianjurkan memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia
Dalil hadits dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia mengatakan:
دخل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ على أبي سلمةَ وقد شقَّ بصرُه . فأغمضَه . ثم قال إنَّ الروحَ إذا قُبِض تبِعه البصرُ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah meninggal, ketika itu kedua matanya terbuka. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pun memejamkan kedua mata Abu Salamah dan bersabda: “Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya” (HR. Muslim no. 920).
Ulama ijma bahwa memejamkan mata mayit hukumnya sunnah.
Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih.
Mendo’akan kebaikan kepada mayit
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah, beliau berdo’a:
اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه
“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920).
Atau boleh juga doa-doa lainnya yang berisi kebaikan untuk mayit.
Mengikat dagunya agar tidak terbuka
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:
و شد لحييه] و ذلك مخافة أن يبقى فمه مفتوحا حالة غسله و حالة تجهيزه فيشد حتى ينطبق فمه مع أسنانه]
“Ketika mayit meninggal [ditutup mulutnya] yaitu karena dikhawatirkan mulutnya terbuka ketika dimandikan dan ketika dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup sampai bersatu antara gigi dan mulutnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan menggunakan kain yang lebar dan panjang diikat melingkar dari dagu hinggake atas kepalanya, sehingga agar mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.
Menutupnya dengan kain
Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ ببُرْدٍ حِبَرَةٍ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau ditutup dengan kain hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak)” (HR. Bukhari no. 5814, Muslim no. 942).
Dianjurkan bersegera mempersiapkan mayit untuk dikubur
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَسْرِعُواْ بالجنازةِ ، فإن تَكُ صالحةً فخيرٌ تُقَدِّمُونَهَا ، وإن يَكُ سِوَى ذلكَ ، فشَرٌّ تضعونَهُ عن رقابكم
“Percepatlah pengurusan jenazah. Jika ia orang yang shalih di antara kalian, maka akan jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan demikian, maka keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian” (HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944).
Memandikan Mayit
Hukum memandikan mayit
Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha, ia berkata:
تُوفيتْ إحدى بناتِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فخرج فقال : اغْسِلْنَها ثلاثًا ، أو خمسًا ، أو أكثرَ من ذلك إن رأيتُنَّ ذلك ، بماءٍ وسدرٍ ، واجعلنَ في الآخرةِ كافورًا ، أو شيئًا من كافورٍ، فإذا فرغتُنَّ فآذِنَّنِي فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة قرون وألقيناها خلفها
“Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: “mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”. Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya” (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).
Siapa yang memandikan mayit?
Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit. Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:
غسلتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم , فذهَبتُ أنظُرُ ما يكونُ منَ الميتِ فلم أرَ شيئًا , وكان طيبًا حيًّا وميتًا , وولي دفنَه وإجنانَه دونَ الناسِ أربعةٌ : عليُّ بنُ أبي طالبٍ , والعباسُ , والفضلُ بنُ العباسِ , وصالحٌ مولى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وألحدَ لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لحدًا ونُصِبَ عليه اللبنُ نَصبًا
“Aku memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan aku memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasad beliau bagus ketika hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata” (HR. Ibnu Majah no. 1467 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki. Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan wajibnya menjaga aurat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:
يا رسولَ اللَّهِ عوراتُنا ما نأتي منها وما نذَرُ قالَ احفَظْ عورتَكَ إلَّا من زوجتِكَ أو ما ملكت يمينُكَ
“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu” (HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.
Perangkat memandikan mayit
Perangkat yang dibutuhkan untuk memandikan mayit diantaranya:
- Sarung tangan atau kain untuk dipakai orang yang memandikan agar terjaga dari najis, kotoran dan penyakit
- Masker penutup hidung juga untuk menjaga orang yang memandikan agar terjaga dari penyakit
- Spon penggosok atau kain untuk membersihkan badan mayit
- Kapur barus yang sudah digerus untuk dilarutkan dengan air
- Daun sidr (bidara) jika ada, yang busanya digunakan untuk mencuci rambut dan kepala mayit. Jika tidak ada, maka bisa diganti dengan sampo
- Satu ember sebagai wadah air
- Satu embar sebagai wadah air kapur barus
- Gayung
- Kain untuk menutupi aurat mayit
- Handuk
- Plester bila dibutuhkan untuk menutupi luka yang ada pada mayat
- Gunting kuku untuk menggunting kuku mayit jika panjang
Cara memandikan mayit
Melemaskan persendian mayit
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
وأما تليين مفاصله فالحكمة في ذلك أن تلين عند الغسل، وذلك بأن يمد يده ثم يثنيها، ويمد منكبه ثم يثنيه، وهكذا يفعل بيده الأخرى، وكذلك يفعل برجليه، فيقبض رجله ليثنيها ثم يمدها مرتين أو ثلاثاً حتى تلين عند الغسل
“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup” (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Melepas pakaian yang melekat di badannya
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
(وخلع ثيابه) يعني: الثياب التي مات فيها يسن أن تخلع ساعة موته، ويستر برداء أو نحوه
“[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat. Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.
Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.
Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
أن يستر في داخل غرفة مغلقة الأبواب والنوافذ، ولا يراه أحد إلا الذين يتولون تغسيله، ولا يجوز أن يغسل أمام الناس
“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di hadapan orang-orang banyak” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).
Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi wanita.
Teknis pemandian
Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:
نوى وسمى وهما كفي غسل حَيّ ثمَّ يرفع راس غير حَامِل الى قرب جُلُوس ويعصر بَطْنه بِرِفْق وَيكثر المَاء حِينَئِذٍ ثمَّ يلف على يَده خرقَة فينجيه بهَا وَحرم مس عَورَة من لَهُ سبع
ثمَّ يدْخل اصبعيه وَعَلَيْهَا خرقَة مبلولة فِي فَمه فيمسح اسنانه وَفِي مَنْخرَيْهِ فينظفهما بِلَا ادخال مَاء ثمَّ يوضئه وَيغسل راسه ولحيته برغوة السدر وبدنه بثفله ثمَّ يفِيض عَلَيْهِ المَاء وَسن تثليث وتيامن وامرار يَده كل مرّة على بَطْنه فان لم ينق زَاد حَتَّى ينقى وَكره اقْتِصَار على مرّة وَمَاء حَار وخلال واشنان بِلَا حَاجَة وتسريح شعره
وَسن كافور وَسدر فِي الاخيرة وخضاب شعر وقص شَارِب وتقليم اظفار ان طالا
“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir. Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong kukunya jika panjang”.
Poin-poin tambahan seputar teknis pemandian mayit
- Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Disunnahkan tiga kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan
- Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan rambutnya dan dibersihkan. Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan diletakkan di bagian belakangnya. Sebagaimana dalam hadits Ummu Athiyyah di atas
Jika tidak memungkinkan mandi, maka diganti tayammum
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
(وإذا تعذر غسل ميت يمم) وذلك لأجل المشقة، فيضرب أحدهم يديه بالتراب، ويمسح وجهه، ويمسح كفيه، ويقوم مقام الغسل، ويمثلون لذلك بالمحترق الذي إذا غسل تمزق لحمه، فلا يستطيعون أن يغسلوه، وكذلك من كان في بدنه جروح كثيرة، وجلدته بشعة، بحيث إنه إذا صب عليه الماء تمزق جلده، وتمزق لحمه؛ فلا يغسل والحالة هذه
“[Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-tayammumi], yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436).
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu“. (HR Abu Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).
Janin yang keguguran
Janin yang mati karena keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4 bulan atau kurang maka tidak perlu. Berdasarkan hadits dari Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’:
والسِّقطُ يُصلِّى عليه ويُدعَى لوالدَيه بالمغفرةِ والرحمةِ
“Janin yang mati keguguran, dia dishalatkan dan dido’akanampunan dan rahmat untuk kedua orang tuanya” (HR. Abu Dawud no. 3180, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
السقط الذي عمره دون أربعة أشهر: الصحيح أنه لا يكفن، وإنما يلف ويدفن في مكان طاهر، وليس له حكم الإنسان، فإذا تمت له أربعة أشهر فإنه يعامل كالحي، فيغسل، ويكفن، ويصلى عليه
“Janin yang mati keguguran jika di bawah empat bulan maka yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan dikuburkan di tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebh) maka diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan dishalatkan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435).
Mengkafani mayit
Hukum mengkafani mayit
Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ
“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
“Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya” (HR. Muslim no. 943).
Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka tidak ditutup kepalanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
“Jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Kriteria kain kafan
Kain kafan untuk mengkafani mayit lebih utama diambilkan dari harta mayit.
Dan semua biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan untuk diambil dari harta mayit daripada untuk membayar hutangnya, ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
“Kafanilah dia dengan dua bajunya”
Artinya, dari kain yang diambil dari hartanya.
Memakai kain kafan berwarna putih hukumnya sunnah, tidak wajib.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
البَسوا مِن ثيابِكم البياضَ وكفِّنوا فيها موتاكم فإنَّها مِن خيرِ ثيابِكم
“Pakailah pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit dengan kain warna putih. Karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian” (HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.1236).
Disunnahkan menggunakan tiga helai kain putih.
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:
كُفِّنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في ثلاثِ أثوابٍ بيضٍ سحوليةٍ ، من كُرْسُفَ . ليس فيها قميصٌ ولا عمامةٌ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah” (HR. Muslim no. 941).
Kafan mayit wanita
Jumhur ulama berpendapat disunnahkan wanita menggunakan 5 helai kain kafan. Namun hadits tentang hal ini lemah. Maka dalam hal ini perkaranya longgar, boleh hanya dengan 3 helai, namun 5 helai juga lebih utama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
وقد جاء في جعل كفن المرأة خمسة أثواب حديث مرفوع ، إلا أن في إسناده نظراً ؛ لأن فيه راوياً مجهولاً ، ولهذا قال بعض العلماء : إن المرأة تكفن فيما يكفن به الرجل ، أي : في ثلاثة أثواب يلف بعضها على بعض
“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393).
Disunnahkan menambahkan sarung, jilbab dan gamis bagi mayit wanita. Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:
والمرأة يبدأ تكفينها بالإزار على العورة وما حولها , ثم قميص على الجسد , ثم القناع على الرأس وما حوله , ثم تلف بلفافتين
“Mayit wanita dimulai pengkafananannya dengan membuatkan sarung yang menutupi auratnya dan sekitar aurat, kemudian gamis yang menutupi badan, kemudian kerudung yang menutupi kepala kemudian ditutup dengan dua lapis” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363).
Kafan untuk anak kecil
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
والصغيرة يكفي فيها قميص ولفافاتان
“Mayit anak kecil cukup dengan gamis dan dua lapis kafan” (Ad Durar Al Mubtakirat, 1/438).
Tidak diharuskan kain kafan dari bahan tertentu
Tidak ada ketentuan jenis bahan tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain tersebut harus bisa menutupi mayit dengan bagus dan tidak tipis sehingga menampakkan kulitnya.
Wewangian untuk kain kafan
Disunnahkan memberi wewangian pada kain kafan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
“Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali” (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 84).
Teknis Mengkafani Mayit
Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafani mayit:
وَسن تكفين رجل فِي ثَلَاث لفائف بيض بعد تبخيرها وَيجْعَل الحنوط فِيمَا بَينهَا وَمِنْه بِقطن بَين الييه وَالْبَاقِي على منافذ وَجهه ومواضع سُجُوده ثمَّ يرد طرف الْعليا من الْجَانِب الايسر على شقَّه الايمن ثمَّ الايمن على الايسر ثمَّ الثَّانِيَة وَالثَّالِثَة كَذَلِك وَيجْعَل اكثر الْفَاضِل عِنْد راسه
“Disunnahkan mengkafani mayit laki-laki dengan tiga lapis kain putih dengan memberikan bukhur (wewangian dari asap) pada kain tersebut. Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian diberikan pewangi pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul, dan yang lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga. Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.
Maka jika kita simpulkan kembali teknis mengkafani mayit adalah sebagai berikut:
- Bentangkan tali-tali pengikat kafan secukupnya. Tidak ada jumlah tali yang ditentukan syariat, perkaranya longgar.
- Bentangkan kain kafan lapis pertama di atas tali-tali tersebut.
- Beri bukhur pada kain lapis pertama, atau jika tidak ada bukhur maka dengan minyak wangi atau semisalnya.
- Bentangkan kain kafan lapis kedua di atas lapis pertama
- Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis kedua
- Bentangkan kain kafan lapis ketiga di atas lapis kedua
- Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis ketiga
- Letakkan mayit di tengah kain
- Tutup dengan kain lapis ketiga dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Tutup dengan kain lapis kedua dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Tutup dengan kain lapis pertama dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Ikat dengan tali yang ada
Wallahu a’lam
Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah (2): Shalat Jenazah
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel asli: https://muslim.or.id/43876-fikih-pengurusan-jenazah-1-memandikan-dan-mengkafani.html